Wednesday, December 26, 2012
Wednesday, December 5, 2012
Terkutuk Kau Untukku!
Seharusnya kau yang mengerti aku, bukan sebaliknya. Mengertikah kau?.Yah! aku tidak mengkasihimu tidak pula menyayangimu secara sempurna. Aku pun tak paham cara mencintai seseorang, aku bodoh jika didekatmu, aku tidak pernah menjadi apa yang ingin diriku jadikan. Dan ku--pun tak menyergah tentang apa yang hendak kau inginkan, sekali pun tidak.Ingat aku bukan bidadari yang terhempas dari kayangan yang selalu kau ngiang-ngiangkan, sekali lagi bukan!.Aku rasa aku tak pernah bermakna didepanmu, itu yang membuatku ogah berlama-lama didepan kilat matamu itu, Ah! itu tak kuharapkan, sungguh mengapa matamu bersinar sendu yang seolah tak bisa ditepiskan rasa kehanggatan ini, aku tak bisa bertahan lama didekatmu, Sayang.Mungkin karna ku tahu aku tak seindah apa yang kau harapkan, yah mungkin saja.Kelak aku kan bersanding denganmu, jauh diambang mimpi ataupun hanya sakadar ilusi. Mungkin itu hanya sekadar pikiran buramku, benarkah?. Maaf jika aku terlalu berharap kepadamu, tapi maaf sekali lagi aku tak pernah menginginkanmu, mengertikah kau?Udara disini sangat sesak seperti tak ada yang menyisakan udara untuk ku, setitik udara pun tidak.Coba kau ada disini, sekali aku menatap lengkungan senyum indah dibibirmu pasti sudah kurasakan hirupan udara yang sangat tajam menyergap sampai keulu hatiku. Sungguh.Disini lembam dan tak karuan, tak ada yang bisa kupungkiri jika rasanya sangat mengasingkan kehidupan nyataku dengan kehidupan asral yang selalu kau titipi ditiap cerita kepiluan inginku lelapkan mata."Aku mencintaimu" katamu, ah itu sangat munafik menurutku, aku muak kepadamu, selalu mengatakan hal yang sama, apakah tak ada kata-kata lain yang dapat kau keluarkan dari mulutmu itu?.. (bersambung) ***
Thursday, August 16, 2012
Ratap Gadis Senja
Malam ini, jum’at 23 Januari tahun 2002. Umurku genap 17
tahun, kata ibu.
Kamu tahu siapa aku? Pasti kamu tak akan pernah
menghiraukannya bukan? Aku bertanya dengan ketulusan hati, dan menjawabnya
dengan seluruh sanubari. Jikalau kamu bagaimana?.
Ada hal yang ingin ku utarakan kepada dirimu kawan, tapi
ingat cukup hanya aku, kau, dan dirinya saja yang menngetahuinya. Janji????.
Baiklah, untuk kesekian kalinya, ku ceritakan ini kepada
kalian tentang apa yang saksikan.
Bermula dari cerita ibuku. Beliau adalah ibu kalbu yang kian
terus menyuburkan rasa kebahagiaan, hingga tiada henti-henti, haus akan cinta
kasih mulanya. Aku tak tahu menceritakannya dengan bahasa seperti apa, tapi aku
ingat semuanya. Masih terekam jelas oleh ingatanku, sungguh.
Ditiap malam wewangian sunyi, ibu selalu menceritakan dari mana
asalnya diriku, dia meng-angapku bak malaikat yang kian dilontarkan dalam bayang-bayang
semu. Aku ingat sekali ketika ia mengatakan bahwa aku adalah anak malaikat,
aku diturunkan kebumi bukan dari benih sperma pria yang akhirnya di taruh rahim
sang peneduh.
Kala ibu bercerita ketika malaikat sedang menanyakan hal kepadaku yang kelak aku akan disambarnya kedalam rahim sang peneduh. Begini menurut apa yang ibu ceritakan ;
Kala ibu bercerita ketika malaikat sedang menanyakan hal kepadaku yang kelak aku akan disambarnya kedalam rahim sang peneduh. Begini menurut apa yang ibu ceritakan ;
Disatu malam sepasang malaikat dan aku bertemu untuk jumpa
pertama kalinya, mungkin disurga, katanya.
“Wahai anak punjanga kau telalu lembut dan murni untuk bisa
ke rahimnya”. Malaikat pun bertanya awalnya.
“Tak apalah aku ingin menjadi penjaga seseorang yang kian
kau sebut-sebut sebagai peneduhku itu!” Akupun tak ayal menjawabnya.
Dan seketika, sepasang malaikat itu pun membawa ruhku dari
langit dan disemaikannya kedalam rahim perempuan yang kelak ku panggil ibu. Secara
bergantian sepasang malaikat tersebut membisikkan apa yang akan menjadi nasibku
kelak. Seperti adonan yang dibentuk seindah rupawan, dibentuk tangan dan kaki
yang menyelusup ke tubuh munggilku. Aku senang sekali ketika malaikat
menyematkan hidung dan telingga. Sungguh bahagia sekali rasanya.
Seketika mereka memperlihatkanku sepasang mata yang indah. Mereka
berkata lirih “ Mata ini akan membuatmu betambah jelita, namun juga menderita”.
Lalu kukatakan kepada mereka “Jika mataku ini mebuahkan penderitaan,
biarkan aku tak usah memilikinya”
“Kelak kau akan megetahui seluruh rahasia yang mereka tak
ketahui sebelumnya”
“Kalau begitu, biarkan aku tak memilikinya, karena aku dapat
melihat tanpanya”
Lalu mereka pergi dan menyimpan mata itu,
“Kelak kau dapat mengambil sepasang bola mata ini sesuka
hatimu, disurga”
***
Ditiap malam yang
lembam akan siuran angin yang kian begelit kesenjaan, ibu selalu menutup
ceritanya dengan memenjamkan mata, lalu tubuhnya yang ringkih tidur dengan
pulas, tak lupa secuil senyuman tersungging dibibir lusuhnya.
Namun kian menghantarkan aku pada juta pertanyaan yang ingin kulantunkan kepadanya.
Namun kian menghantarkan aku pada juta pertanyaan yang ingin kulantunkan kepadanya.
Tidak seperti aku. Kian ditiap malam selalu mendengar
bebunyian yang terkadang mengetarkan sekujur bulu roma, entah dari mana
asalnya, entah mengapa selalu terbesit didalam nestapa. Tak ada yang pernah
mendengarnya selain aku dan hewan-hewan kecil yang bersembunyi dalam kegetiran
bumi. Ibupun tidak, kau tahu suara itu berasal dari mana?
Itu pertanyaan sedariku berajak dewasa, kawan.
Ibu tak pernah mau menceritakannya sampai keseluruhan, aku
mengerti karena ia tak ingin menyakiti hatiku. Dia tak pernah tahu bahwa
sejumput cerita yang selalu ia usik adalah cerita yang sesungguhnya yang selalu
tersematkan oleh kibaran serbuk mimpiku. Aku tak pernah menceritakannya karena
kutahu, itu tak berarti lagi, sekarang aku memiliki ibu yang selalu menemaniku
di tiap malam kelabu, kukira ini hanyalah kembang mimpi yang selalu tertancap
dalam binaran matanya.
Jika aku ceritakan ini, apakah kau akan percaya?.
Bahwa apa yang dikatakan sepasang malaikat itu benar, aku dapat melihat. Sungguh aku bisa
merasakan itu. Memang aku tak memiliki sepasang mata yang indah seperti kalian
tapi sungguh aku tak pernah berdusta. Aku dapat melihat langit yang hijau dan
lebut sekiranya peraduan senja yang kian berkitaran diatasnya halus, sehalus
kapas. Aku dapat melihat pepohonan yang ungu keungu-unguan, dedaunan yang
kemerahan serta batang yang berwarna biru kelumutan. Butiran hujan yang selalu
memercikan hingga menyambar jemariku yang tampak megah berkilauan seperti
berkelibat dengan kekhusyukan didalamnya. Bisa kulihat hamparan rumput yang
selalu berteriak manis menyambut siapa saja yang enggan menolaknya, juga angin
yang putih kelabu dan biru laiknya sebuah beludru. Aku dapat menyentuhnya,
hanggat rasanya, dingin jika tercium, bahkan aku bisa menyentuhnya si sela-sela
jemariku yang selalu berkitaran dan menari-nari didalamnya.
Semoga kau percaya akan semua yang kuceritakan, cerita ini
tak usai hanya sebatas sini saja.
***
Sengaja ku buka kelopak mataku, agar kau bergidik ketakutan. Namun kulihat kau tak begitu. Sudah ku jelaskan apa sesungguhnya yang terjadi, bukan sekadar ilusi namun kesungguhan. Bagaimana tidak ibu yang melahirkanku membuang diri ini ketempat dengan kekeruhan luar biasa, mungkin dia pun sama dengan apa yang kau rasakan ketika sekejap kuperlihatkan kelopak mataku ini.
Aku tak akan menderita berlarut-larut, sungguh. Kepedihan
selalu beujung kebahagian, itu menurutku. Bertahun-tahun aku diungsikan disatu
pondok yang sekarang majadi markas besar para anak-anak terlantar didalamnya
yang akhirnya dijadikan budak-budak berpenghasilan tinggi, maksutku
pengemis-pengemis jalanan.
Aku melihat ini, satu hari ada anak yang bertubuh normal
laiknya anak-anak yang terlahirkan biasa, telingganya di iris, kakinya
dihancurkan bak mesin penghancur hingga menjadikannya lumpuh agar dikasihani
manusia-manusia lainnya. Cukup aku ceritakan selintasannya saja, aku pun ngeri
dibuatnya.
Aku terkesima menyaksikannya, langit seolah-olah runtuh dan
meratapi kemendungan ditiap harinya. Ku lihat ia bergantungan di atap-atap
kesyahduannya. Dan menciumi seluruh kehidupan yang kian membinasakan. Saat itu
aku melihat ribuan kembang berupa-rupa yang betebaran ke atas, seperti
mengiringi keadaan ini sampai akhirnya kau membawaku ke tepi, entah apa.
Mungkin kematian.
Kuceritakan ini kepada kalian, tapi kalian tetap mengangapku
pendusta. {KIY}
P Aruoem, Tangerang,
Agoestus 2012
Friday, August 3, 2012
Dengarkan ini, Senja!
Tuesday, July 31, 2012
Berlalu Lalu Samar
Sungguh andai kau bersitkan rasa itu kepadaku
Aku takan menengadah maupun meluapkan semua ini kepadamu
Aku takan menganggap kau ilusi ataupun sekadar ilustrasi
Aku takan ingin kau tersimpur dan kaku melayang dijati diri
Menepis dan menyelipkan jemarimu dalam untaian belati
Kau tahu aku bukanlah kau
Kau tahu aku bukanlah kau
Tapi……….
Aku adalah gadis yang kau tunggu di silam satu tahun
Aku adalah diri yang lelah tersipuh dan rapuh
Yah aku adalah gadis yang kian kau mimpikan
Tapi aku bukan apa yang kau inginkan,
Sungguh!
Sungguh!
Sekarang kau ingat siapa aku?
Yah…………….
Aku pemimpimu, Senja
{KIY}
{KIY}
Sunday, July 29, 2012
Untukmu Dariku, Senja!
![]() |
Lihatlah guratan mata dan binaran dimalam yang kelabu ini, sungguh, sungguh perih rasanya. Apakah kau rasakan yang kian terbesit diulu hatiku, senja?
![]() |
Ketika kau berlabuh pada peruntuannya, kau akan tersadar bahwa ialah lembayung yang enggan menghampirimu. Bias dan samar membaur tersihir telak olehmu.
Itukah engkau?, yah aku melihat bayanganmu. Cukup jelas tertangkap di kornea mataku. Aku tahu pasti kau menepati janji dimalam fanamu itu!.Dahulu kau mengira kita akan menjadi satu seperti kepingan yang berbalut binaran indah menyelusup dan mengkristal, katamu.
Mataku menyempit mencari celah sampai ketitik peraduannya menyimak seluruh penjuru demi melintasi bayang yang kian menyergap. Penggap rasanya, melintasi sejumput aroma halus tubuhmu yang kian mengembara.
Kau kah itu senja?, tolong ampuni semua kabut yang menyelebungi bebauan malam kendati menyeringgit kalbuku ini. Usirlah mereka senja!, kataku.
Kabut ini, yah kabut ini adalah air mataku yang sedari dulu. Didetik perpisahan kita. Mereka akhirnya menguap lalu menyeruak hingga berkelabuh dalam kabut.
![]() |
Semua yang kulontarkan sama perihal jiwa dan sanubari ini, letih dan ringkih. Disatukan dalam kata-kata yang berpola bak permaisuri. Maaf ku buat ini khusus untukmu,senja. Sungguh. {KIY} |
Friday, July 27, 2012
Benahi Kota Kita
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jati Waringin yang dimiliki Pemerintahan Kabupaten Tangerang, yang berlokasi di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, telah dibangun sejak tahun 90-an ini, memberikan banyak dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, yang bermukim satu sampai radius dua kilometer. Kondisi mereka jelas sangat memilukan dan menggiris hati. Salah satu dampak buruk dari TPA Jati Waringin ini terlihat dari keadaan air tanah di keempat desa yang berada di kitaran lokasi yang tidak dapat dipakai lagi, karena warna air yang sudah berubah menjadi kehitaman dan berbau, menyebabkannya tak layak lagi untuk dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena dianggap.
Keempat desa itu yakni, Jatiwaringin (Kecamatan Mauk), Desa Gintung, dan Desa Buaran Jati (Kecamatan Sukadiri), dan Desa Rajeg Mulya (Kecamatan Rajeg). Sampai saat ini sudah berbagai macam keluhan masyarakat yang bermukim di tempat sekitar, yang diadukan langsung kepada Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tangerang, namun belum ada respon dan tanggapan balik terhadap masyarakat. “Hingga sekarang belum ada penyelesaiannya”. Pungkas seorang masyarakat sekitar.
Berpuluh-puluh tahun keadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jati Waringin membuat keadaan masyarakat sekitarnya mengalami kepiluan dan penderitaan, khususnya terhadap hak untuk menghirup udara bersih dan air bersih terhadap diri mereka sendiri maupun keluarga. Padahal itu bertentangan dengan yang tercantum dalam Undang-Undang No 32 tahun 2009, tentang lingkungan hidup dan Peraturan Pemerintahan (PP) No 27 tahun 1999 tentang Amdal.
Bayangkan saja, berpuluh-puluh tahun mereka bermukim di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menyebabkan penderitaan luarbiasa. Selain air tanah yang tidak bisa dipakai lagi, udara yang dihirup pun benar-benar tidak sehat. Polusi Udara itu disebabkan oleh pembakaran sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jati Waringin, hingga membuat jarak pandang hanya berkisar pada radius satu kilometer saja, akibat tertutup kepulan asap pembakaran sampah. “Sangat membahayakan pengguna jalan, dan masyarakat di sekitar lahan pembakaran. Pengguna jalan harus berhati-hati ketika melewati tempat yang diselimuti kabut palsu ini (asap),” tutur seorang masyarakat sekitar.
Polusi udara selain pembakaran itu, juga harus dihirup warga sepanjang waktu mereka. Arah anginlah yang menjadi panutan ke mana asap tersebut akan bertiup. Parahnya, hampir di setiap penjuru arah angin itulah, pemukiman penduduk berada. Tepat di depan TPA Jati Waringin, terdapat satu desa yang tiap siangnya, sekira pukul 13:00 Wib sampai sore, hembusan angin akan terus mengarah pemukiman penduduknya. Bisa kita bayangkan bagaimana tidak mengenakkannya bau tumpukan ber-ton-ton itu?
Pengolahan sampah TPA Jati Waringin yang dilakukan secara oven dumping (pengolahan sampah yang tidak diproses ulang, tapi ditumpuk lalu dibakar) ini, dilakukan setiap harinya, sehingga sangat menambah penderitaan masyarakat. Keadaan mayarakat semakin diperburuk oleh munculnya penyakit sesak napas. Meski hingga kini belum ada data tertulis jumlah penduduk yang terserang penyakit itu.
Penderitaan warga pun bertambah, lantaran area lahan TPA yang berlebih, seluas 12 hektar dan lahan tambahan sekitar 4 hektar. Dampak dari TPA ini pun bisa kita lihat dari lahan pertanian yang dihimpit oleh lahan TPA Jati Waringin. Dampaknya jelas, di sebagian lahan pertanian mengalami penggundulan yang tidak lazim sebagaimana umumnya lahan pertanian. Hal itu bisa terlihat dari pepohonan yang menjadi gersang di sekitar TPA.
Konflik menggejala,tapi masalah lain merajarela. Kepenggurusan TPA yang dimiliki oleh Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tangerang ,harus secepatnya dibenahi diberi tindakan cepat dan tepat untuk masalah yang selalu diulur-ulur tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sungguh malangnya masyarakat di kitaran TPA,laiknya manusia yang tidak dimanusiakan.
Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) maupun Pemerintahan Kota (Pemkot) Tangerang harus segera bebenah diri atas semua permasalahan yang dirasakan dalam batang tubuhnya sendiri. Bila belum dirasa tidak bisa mengatur apalagi menanggulangi permasalahan yang ada, sungguh malangnya nasib rakyat yang mereka pimpin. Dengarlah suara rakyatmu, Pak!” {KIY}
Friday, July 13, 2012
Cerpen Pertamaku.
Oleh Kamelia Indri
Yani
Tanah telah
menjadi serpihan debu-debu yang beterbangan kian kemari. Tanaman mematung
kehausan, dan timba-timba di sumur melompong belaka walaupun tiap detik selalu
menengadah kelangit. Tapi setelah lama kami menunggunya turun, akhirnya, tetes
hujan itu pun jatuh jua. Tetes air hujan yang berjatuhan di awal pagi ini.
Penanda datangnya musim penghujan di desaku tercinta.
Pagi
diawal musim penghujan ini,kami bersuka ria bersama alam demi meluapkan
kesenangan dan kebahagiaan. Semua warga tergesa-gesa menggamit wadah untuk menadah
hujan. Aku pun segera menghambur keluar rumah agar guyuran
hujan membasuh sekujur tubuhku yang seolah haus akan rindu alam di
musim basah. Inam temanku lebih bersemangat lagi. Ia lepaskan semua bebeknya
yang ada dikandang,seolah tak ingin kehilangan waktu pertama saat hujan tiba. Aroma
tanah kering segera menguar masuk ke hidungku. Sebelum kemudian terhempas
sekejab bersama angin yang seolah menghapus semua derita desa selama enam bulan
ini, yang menunggu tetesan air hujan turun untuk semua kehidupan di desa kami.
Rasanya
bagaikan mimpi yang selalu terngiang dihidupku,bila musim penghujan datang pada
waktunya.
“Randa
sini,Nak!” sebuah suara lembut keluar dari
dalam rumah. Suara Ibuku, Bu Guru Sukiyem. Begitu beliau biasa disapa karena profesinya sebagai guru desa
di Bumi Rahayu,desaku. Tapi ibuku hanyalah guru honorer,dan hanya beliaulah satu-satunya
guru perempuan yang ada didesaku. Amat pedih melihatnya dengan keterbelakangan
keluarga kami yang semakin terpuruk setelah meninggalnya ayah setahun silam.
Ibu berkerja sendiri dan aku selalu membantu pekerjaannya.Semampuku.
Aku masih duduk dikelas lima SD. Di sekolah tempat Ibuku mengajar.
Sering aku melihat ibu kewalahan dengan setumpuk tugas mengajarnya, di kelas satu
sampai kelas empat.Walaupun Ibu hanya guru honorer tapi tugasnya seperti
guru-guru pada umumya, meski tetap tanpa tunjangan dari Pemerintah selaiknya guru
atau PNS pada umumnya.Pedih rasanya melihat Ibu kelelahan sepulang ia bekerja.
***
Untuk pekerjaan
Ibu sebagai guru, beliau hanya beroleh upah yang hanya berkisar Rp 30.000 per
bulan, yang kadang juga tak menentu.Bahkan sesekali Ibu tak menerima uang
sepeser pun dari perkerjaannya itu.
Tapi
jika tak ada tugas panggilan sebagai guru, Ibu beralih menjadi seorang
ibu petani handal.Meski hanya dengan upah yang tak terlalu tinggi, Rp 7.000 per
hari.Itupun jika musim penghujan datang seperti sekarang. Jika tidak, aku dan Ibu
mencari pekerjaan apapun, yang penting halal dan bisa menghilangkan rasa lapar
yang melilit perut.
Lintasan
cerita tentang kehidupanku bersama Ibu, seketika buyar saat mendengar panggilannya.
Aku bergegas dengan tubuh yang basah kuyup hingga tiba di hadapannya.
“Ada hal
penting yang ingin Ibu beritahukan kepadamu. Lekaslah bebersih.”
Setelah
itu, di bibir Ibu tersungging senyum tipis, yang manis. Aku tahu persis arti
senyuman itu. Senyum yang teramat manis itu tak bisa kuungkapkan dengan sekadar
kata-kata biasa.Bagiku, Ibu adalah pahlawan dalam kesepian.
Lambat
laun aku semakin mengerti akan semua yang Ibu kerjakan selama ini.
Usai
bebersih,aku segera menghambur ke kamar Ibu untuk menanyakan hal yang semula ia
ingin sampaikan padaku tadi pagi.
Sembari memegang
pundakku Ibu berkata lirih.
“Ibu ingin
sekali anak-anak didesa ini berkenalan dengan kecanggihan teknologi komunikasi
yang tak pernah terjamah selama ini. Janganlah terus-menerus terpuruk. Kamu mau
kan membantu Ibu untuk mewujudkannya?”
“Bagaimana
caranya, Bu?
Ibu pun
mulai memberikan penjelasan tentang seberapa penting teknologi dan media massa
untuk masyarakat umum. Hingga aku semakin paham dan mulai mempelajarinya dengan
bantuan buku-buku yang Ibu bawa dari sekolah.
***
Setelah seminggu
musim penghujan menyambang, masalah baru pun muncul. Kami tak pernah memakai
sandal atau sepatu ketika hendak bepergian. Karena hal itu sama saja
mempersulit gerak. Belum lagi dengan lumpur yang menempel di telapak sepatu
atau sandal—yang talinya bisa seketika putus jika kaki kami amblas di lumpur, atau struktur jalan berlapis tanah merah yang
menjadi semakin licin.Rasanya seperti musibah bila harus membeli sandal atau
sepatu baru yang harganya menurut kami teramat mahal. Lebih baik uangnya untuk
membeli beras di warung Mbah Surujan, di desa Sabrang Lor.
Apa
daya. Masalah itu memang harus terjadi dan dihadapi. Karena minggu ini aku dan Ibu
harus pergi menuju kecamatan untuk menemui salah satu temannya yang berada
disana.
Desaku
memang terbelakang untuk urusan ini. Karena terpelosok, jauh dari kota, dan
jika memang ingin pergi ke kota, harus dengan mengendarai motor dan bisa
menghabiskan waktu sekitar enam jam. Bayangkan jika untuk menempuhnya kami
harus berjalan kaki?
Dikota,
semua memang terasa mudah. Meski hanya orang berduitlah yang bisa merasakannya.
Di kecamatan, lain ceritanya. Sekalipun ada kantor kecamatan dekat desa,tak ada
fasilitas yang mendukung. Hanya ada satu komputer saja yang memang terhubung
dengan jaringan internet. Aku diberi tahu Ibu soal internet ini,karena kemarin aku
diajak beliau untuk bertemu temannya dikecamatan,untuk memberikan pelajaran
singkat bagaimana mengoperasikan komputer dan menggunakan internet. Alat yang
asing untuk hidupku,walaupun sebelumnya sudah kupelajari dari lembaran buku
pemberian Ibu.
Dari internet
itulah kemudian kutahu seberapa penting media sosial untuk kehidupan kita. Semua
jadi lebih cepat,dekat,dan lekat. Untuk
bisa mewujudkan semua hasil pengetahuan yang kudapat dari buku pemberian Ibu,aku
harus berjalan berpuluh-puluh kilometer yang menguras keringatku dan sesekali
tergelincir di jalanan yang licin menuju kecamatan, untuk menerima pelajaran
cuma-cuma dari salah satu teman Ibuku, Pak Iman.
Rasanya
memang ada perbedaan ketika aku melihat dan mempelajari media sosial seperti
sekarang. Meski tetap saja terasa masih kurang. Keadaan yang tak mendukung dan alam
tempat kami yang terpelosok dari kota,sangat menghambat kamiuntuk menjelajah melalui
jejaring sosial. Itu adalah sebagian kecil hambatan yang ada didesa kami. Tapi
tak apalah.Itu hanya selintas pembelajaran dihidup kamiyang serba kekurangan
tapi tetap menjunjung tinggi rasa keimanan kepada Sang Khaliq. Akutetap
bersyukur, Ibu apalagi. Semua penduduk di desaku pun begitu. Semua menerima
dengan lapang dada.Seperti senyum manis tipis Ibuku itu.
***
Tak terasa sudah
satu bulan musim penghujan datang menyambangi kami. Setelah terus mempelajari
dunia jejaring sosial, aku pun semakin yakin bahwa hidup kami bisa diubah. Aku
ingin mengubah keadaan desaku dari keterpurukan ketidaktahuan akan dunia lain
yang berada jauh dari desaku ini,agar semua penduduk desaku tahu banyak tentang
kota-kota diluar sana yang dihiasi keindahan lain yang tak ada di desa kami.
“Kring...
kring... kring...” seketika terdengar bunyi klakson sepeda tua yang di kayuh
oleh lelaki separuh baya dari kejauhan sana,tergesa-gesa, samar dan semakin
dekat menuju tempatku duduk diatas baledidepan gubuk reot kami. Akhirnya lambat
laun terlihatlah siapa lelaki itu. Ia adalah salah satu teman Ibu dari
kecamatan, Pak Kumis.
Ia
mendekatiku. Lalu menyapa dengan lembut dan memberikan padaku sepucuk surat
yang baunya harum. Aku pun membuka surat itu dengan menyobek bagian kiri atasnya.
Setelah itu kuhampiri Ibu yang sedang menyapu halaman depan gubuk kami. Ibu pun
mulai membacaikata demi kata sedari awal kalimat hingga akhir. Aku dan Ibu sekilas
saling bersitatap, dan dimatanya kulihat binaran cahaya yang begitu indah.
Surat
itu berisi undangan dari bapak camat Desa untukku dan Ibu,untuk menghadiri sebuah
acara di kantornya.Ternyata semuapenduduk desa juga mendapatkan undangan yang sama. Tujuannya belum pasti.Tapi pesan yang
tertera didalam surat adalah, untuk meningkatkan kemajuan desa kami dan desa
yang ada di Seberang Lor.
***
Hari itu pun
tiba.Sedari pagi buta aku dan Ibu sudah berbenah rumah demi menghadiri undangan
pak camat dikantornya. Meski gerimis tak jua reda, akhirnya kami kami tetap
menuju ke lokasi acara. Sialnya, di tengah perjalanan aku tergelincir dan jatuh
di kubangan lumpur yang tak bisa kulewati.Alhasil seluruh pakaianku terbalut lumpur.
Padahal aku tak membawa lagi pakaian ganti. Sementara itu, baju Ibu pun kecipratan
lumpur yang sekarang menempel di tubuhku.Tapi Ibu bersikeras untuk tetap menuju
kantor camat. Hampir empat jam lebih waktu yang kami tempuh dalam kondisi seperti
anak kucing yang baru saja naik dari comberan.
Kami
sampai di lokasidengan pakaian seadanya. Didepan pintu masuk sudah ada dua
lelaki paruh baya yang memang bertugas menunggu para tamu di acara itu. Kami
mendekat ke arah mereka dan segera menunjukkan kartu undangan. Kedua lelaki itu
lantasmempersilahkankami masuk ke ruangan acara untuk mendengarkan pidato dari Pak
Camat, yang berdasar cerita dari penduduk desa,ia adalah sosok lelaki yang
memiliki senyuman menawan dan kepribadian berwibawa. Tapi sayangnya,kami hanya
bisa mendengar pembicaraan dari luar ruangan yang disatukan dengan para
undangan yang sama seperti kami: tidak berpakain rapih. Rasanya pedih memang.
Didiskriminasikan
diantara yang lainnya.
Hari itu
pun seketika senyap. Seperti hari tanpa hari. Kami pulang dengan harapan hampa
tanpa dapat melihat kedatangan Pak Camat, pun kepergiannya. Kami hanya
mendengar samar-samar suaranya lewat pengeras suara yang menyerukan untuk
pembangunan khususnya internet di desa kami. Pesan itulah yang melipur hatiku
dan Ibu untuk segera sampai di rumah dan mengabarkannya kepada Inam.
***
Pagi ini beging.
Indah. Aku sedang asyik melamun di atas bale ketika lelaki pembawa undangan
tempo hari itu datang lagi hari ini.Ia memberiku sebuah bingkisan nan
sederhana. Benar-benar sederhana. Tapi menjadi tidak sederhana lagi setelah
kutahu yang mengirimkannya adalah Pak Camat sendiri. Khusus untuk para undangan
yang kemarin lusa tak sempat bertemu dengan beliau. Usai bertemu denganku,
lelaki paruh baya itu pun hilang di kejauhan.
Aku pun
segera menghampiri Ibu dan membuka bingkisan itu. Ternyata di dalam bingkisan
itu ada sebuah undangan untuk kursus komputer, lengkap dengan fasilitas
internetnya. Aku seperti bermimpi di siang bolong. Masih di dalam undangan itu.Ada
sebaris kalimat yang ditulis langsung olehPak Camat, yang berbunyi:
“Tetaplah
semangat, Randa. Belajarlah terus untuk masa depanmu yang lebih cerah. Joko
Aminoto.” []kameliaindriyanie@gmail.com
Subscribe to:
Posts (Atom)