Friday, July 13, 2012

Cerpen Pertamaku.


Hidup dalam Mimpi
 Oleh Kamelia Indri Yani


Tanah telah menjadi serpihan debu-debu yang beterbangan kian kemari. Tanaman mematung kehausan, dan timba-timba di sumur melompong belaka walaupun tiap detik selalu menengadah kelangit. Tapi setelah lama kami menunggunya turun, akhirnya, tetes hujan itu pun jatuh jua. Tetes air hujan yang berjatuhan di awal pagi ini. Penanda datangnya musim penghujan di desaku tercinta.
Pagi diawal musim penghujan ini,kami bersuka ria bersama alam demi meluapkan kesenangan dan kebahagiaan. Semua warga tergesa-gesa menggamit wadah untuk menadah hujan. Aku pun segera menghambur keluar rumah agar guyuran hujan membasuh sekujur tubuhku yang seolah haus akan rindu alam di musim basah. Inam temanku lebih bersemangat lagi. Ia lepaskan semua bebeknya yang ada dikandang,seolah tak ingin kehilangan waktu pertama saat hujan tiba. Aroma tanah kering segera menguar masuk ke hidungku. Sebelum kemudian terhempas sekejab bersama angin yang seolah menghapus semua derita desa selama enam bulan ini, yang menunggu tetesan air hujan turun untuk semua kehidupan di desa kami.
Rasanya bagaikan mimpi yang selalu terngiang dihidupku,bila musim penghujan datang pada waktunya.
“Randa sini,Nak!”  sebuah suara lembut keluar dari dalam rumah. Suara Ibuku, Bu Guru Sukiyem. Begitu beliau biasa disapa karena profesinya sebagai guru desa di Bumi Rahayu,desaku. Tapi ibuku hanyalah guru honorer,dan hanya beliaulah satu-satunya guru perempuan yang ada didesaku. Amat pedih melihatnya dengan keterbelakangan keluarga kami yang semakin terpuruk setelah meninggalnya ayah setahun silam. Ibu berkerja sendiri dan aku selalu membantu pekerjaannya.Semampuku.
Aku masih  duduk dikelas lima SD. Di sekolah tempat Ibuku mengajar. Sering aku melihat ibu kewalahan dengan setumpuk tugas mengajarnya, di kelas satu sampai kelas empat.Walaupun Ibu hanya guru honorer tapi tugasnya seperti guru-guru pada umumya, meski tetap tanpa tunjangan dari Pemerintah selaiknya guru atau PNS pada umumnya.Pedih rasanya melihat Ibu kelelahan sepulang ia bekerja.
***
Untuk pekerjaan Ibu sebagai guru, beliau hanya beroleh upah yang hanya berkisar Rp 30.000 per bulan, yang kadang juga tak menentu.Bahkan sesekali Ibu tak menerima uang sepeser pun dari perkerjaannya itu.
Tapi jika tak ada tugas panggilan sebagai guru, Ibu beralih menjadi seorang ibu petani handal.Meski hanya dengan upah yang tak terlalu tinggi, Rp 7.000 per hari.Itupun jika musim penghujan datang seperti sekarang. Jika tidak, aku dan Ibu mencari pekerjaan apapun, yang penting halal dan bisa menghilangkan rasa lapar yang melilit perut.
Lintasan cerita tentang kehidupanku bersama Ibu, seketika buyar saat mendengar panggilannya. Aku bergegas dengan tubuh yang basah kuyup hingga tiba di hadapannya.
“Ada hal penting yang ingin Ibu beritahukan kepadamu. Lekaslah bebersih.”
Setelah itu, di bibir Ibu tersungging senyum tipis, yang manis. Aku tahu persis arti senyuman itu. Senyum yang teramat manis itu tak bisa kuungkapkan dengan sekadar kata-kata biasa.Bagiku, Ibu adalah pahlawan dalam kesepian.
Lambat laun aku semakin mengerti akan semua yang Ibu kerjakan selama ini.
Usai bebersih,aku segera menghambur ke kamar Ibu untuk menanyakan hal yang semula ia ingin sampaikan padaku tadi pagi.
Sembari memegang pundakku Ibu berkata lirih.
“Ibu ingin sekali anak-anak didesa ini berkenalan dengan kecanggihan teknologi komunikasi yang tak pernah terjamah selama ini. Janganlah terus-menerus terpuruk. Kamu mau kan membantu Ibu untuk mewujudkannya?”
“Bagaimana caranya, Bu?
Ibu pun mulai memberikan penjelasan tentang seberapa penting teknologi dan media massa untuk masyarakat umum. Hingga aku semakin paham dan mulai mempelajarinya dengan bantuan buku-buku yang Ibu bawa dari sekolah.
***
Setelah seminggu musim penghujan menyambang, masalah baru pun muncul. Kami tak pernah memakai sandal atau sepatu ketika hendak bepergian. Karena hal itu sama saja mempersulit gerak. Belum lagi dengan lumpur yang menempel di telapak sepatu atau sandal—yang talinya bisa seketika putus jika kaki kami amblas di lumpur,  atau struktur jalan berlapis tanah merah yang menjadi semakin licin.Rasanya seperti musibah bila harus membeli sandal atau sepatu baru yang harganya menurut kami teramat mahal. Lebih baik uangnya untuk membeli beras di warung Mbah Surujan, di desa Sabrang Lor.
Apa daya. Masalah itu memang harus terjadi dan dihadapi. Karena minggu ini aku dan Ibu harus pergi menuju kecamatan untuk menemui salah satu temannya yang berada disana.
Desaku memang terbelakang untuk urusan ini. Karena terpelosok, jauh dari kota, dan jika memang ingin pergi ke kota, harus dengan mengendarai motor dan bisa menghabiskan waktu sekitar enam jam. Bayangkan jika untuk menempuhnya kami harus berjalan kaki?
Dikota, semua memang terasa mudah. Meski hanya orang berduitlah yang bisa merasakannya. Di kecamatan, lain ceritanya. Sekalipun ada kantor kecamatan dekat desa,tak ada fasilitas yang mendukung. Hanya ada satu komputer saja yang memang terhubung dengan jaringan internet. Aku diberi tahu Ibu soal internet ini,karena kemarin aku diajak beliau untuk bertemu temannya dikecamatan,untuk memberikan pelajaran singkat bagaimana mengoperasikan komputer dan menggunakan internet. Alat yang asing untuk hidupku,walaupun sebelumnya sudah kupelajari dari lembaran buku pemberian Ibu.
Dari internet itulah kemudian kutahu seberapa penting media sosial untuk kehidupan kita. Semua jadi lebih cepat,dekat,dan lekat.  Untuk bisa mewujudkan semua hasil pengetahuan yang kudapat dari buku pemberian Ibu,aku harus berjalan berpuluh-puluh kilometer yang menguras keringatku dan sesekali tergelincir di jalanan yang licin menuju kecamatan, untuk menerima pelajaran cuma-cuma dari salah satu teman Ibuku, Pak Iman.
Rasanya memang ada perbedaan ketika aku melihat dan mempelajari media sosial seperti sekarang. Meski tetap saja terasa masih kurang. Keadaan yang tak mendukung dan alam tempat kami yang terpelosok dari kota,sangat menghambat kamiuntuk menjelajah melalui jejaring sosial. Itu adalah sebagian kecil hambatan yang ada didesa kami. Tapi tak apalah.Itu hanya selintas pembelajaran dihidup kamiyang serba kekurangan tapi tetap menjunjung tinggi rasa keimanan kepada Sang Khaliq. Akutetap bersyukur, Ibu apalagi. Semua penduduk di desaku pun begitu. Semua menerima dengan lapang dada.Seperti senyum manis tipis Ibuku itu.
***
Tak terasa sudah satu bulan musim penghujan datang menyambangi kami. Setelah terus mempelajari dunia jejaring sosial, aku pun semakin yakin bahwa hidup kami bisa diubah. Aku ingin mengubah keadaan desaku dari keterpurukan ketidaktahuan akan dunia lain yang berada jauh dari desaku ini,agar semua penduduk desaku tahu banyak tentang kota-kota diluar sana yang dihiasi keindahan lain yang tak ada di desa kami.
“Kring... kring... kring...” seketika terdengar bunyi klakson sepeda tua yang di kayuh oleh lelaki separuh baya dari kejauhan sana,tergesa-gesa, samar dan semakin dekat menuju tempatku duduk diatas baledidepan gubuk reot kami. Akhirnya lambat laun terlihatlah siapa lelaki itu. Ia adalah salah satu teman Ibu dari kecamatan, Pak Kumis.
Ia mendekatiku. Lalu menyapa dengan lembut dan memberikan padaku sepucuk surat yang baunya harum. Aku pun membuka surat itu dengan menyobek bagian kiri atasnya. Setelah itu kuhampiri Ibu yang sedang menyapu halaman depan gubuk kami. Ibu pun mulai membacaikata demi kata sedari awal kalimat hingga akhir. Aku dan Ibu sekilas saling bersitatap, dan dimatanya kulihat binaran cahaya yang begitu indah.
Surat itu berisi undangan dari bapak camat Desa untukku dan Ibu,untuk menghadiri sebuah acara di kantornya.Ternyata semuapenduduk desa juga mendapatkan undangan  yang sama. Tujuannya belum pasti.Tapi pesan yang tertera didalam surat adalah, untuk meningkatkan kemajuan desa kami dan desa yang ada di Seberang Lor.
***
Hari itu pun tiba.Sedari pagi buta aku dan Ibu sudah berbenah rumah demi menghadiri undangan pak camat dikantornya. Meski gerimis tak jua reda, akhirnya kami kami tetap menuju ke lokasi acara. Sialnya, di tengah perjalanan aku tergelincir dan jatuh di kubangan lumpur yang tak bisa kulewati.Alhasil seluruh pakaianku terbalut lumpur. Padahal aku tak membawa lagi pakaian ganti. Sementara itu, baju Ibu pun kecipratan lumpur yang sekarang menempel di tubuhku.Tapi Ibu bersikeras untuk tetap menuju kantor camat. Hampir empat jam lebih waktu yang kami tempuh dalam kondisi seperti anak kucing yang baru saja naik dari comberan.
Kami sampai di lokasidengan pakaian seadanya. Didepan pintu masuk sudah ada dua lelaki paruh baya yang memang bertugas menunggu para tamu di acara itu. Kami mendekat ke arah mereka dan segera menunjukkan kartu undangan. Kedua lelaki itu lantasmempersilahkankami masuk ke ruangan acara untuk mendengarkan pidato dari Pak Camat, yang berdasar cerita dari penduduk desa,ia adalah sosok lelaki yang memiliki senyuman menawan dan kepribadian berwibawa. Tapi sayangnya,kami hanya bisa mendengar pembicaraan dari luar ruangan yang disatukan dengan para undangan yang sama seperti kami: tidak berpakain rapih. Rasanya pedih memang. Didiskriminasikan diantara yang lainnya.
Hari itu pun seketika senyap. Seperti hari tanpa hari. Kami pulang dengan harapan hampa tanpa dapat melihat kedatangan Pak Camat, pun kepergiannya. Kami hanya mendengar samar-samar suaranya lewat pengeras suara yang menyerukan untuk pembangunan khususnya internet di desa kami. Pesan itulah yang melipur hatiku dan Ibu untuk segera sampai di rumah dan mengabarkannya kepada Inam.
***
Pagi ini beging. Indah. Aku sedang asyik melamun di atas bale ketika lelaki pembawa undangan tempo hari itu datang lagi hari ini.Ia memberiku sebuah bingkisan nan sederhana. Benar-benar sederhana. Tapi menjadi tidak sederhana lagi setelah kutahu yang mengirimkannya adalah Pak Camat sendiri. Khusus untuk para undangan yang kemarin lusa tak sempat bertemu dengan beliau. Usai bertemu denganku, lelaki paruh baya itu pun hilang di kejauhan.
Aku pun segera menghampiri Ibu dan membuka bingkisan itu. Ternyata di dalam bingkisan itu ada sebuah undangan untuk kursus komputer, lengkap dengan fasilitas internetnya. Aku seperti bermimpi di siang bolong. Masih di dalam undangan itu.Ada sebaris kalimat yang ditulis langsung olehPak Camat, yang berbunyi:
“Tetaplah semangat, Randa. Belajarlah terus untuk masa depanmu yang lebih cerah. Joko Aminoto.” []kameliaindriyanie@gmail.com

No comments:

Post a Comment

Hi! Join us for my account twitter @kameliaonta. Have fun! ;)