Oleh Kamelia Indri
Yani
Tanah telah
menjadi serpihan debu-debu yang beterbangan kian kemari. Tanaman mematung
kehausan, dan timba-timba di sumur melompong belaka walaupun tiap detik selalu
menengadah kelangit. Tapi setelah lama kami menunggunya turun, akhirnya, tetes
hujan itu pun jatuh jua. Tetes air hujan yang berjatuhan di awal pagi ini.
Penanda datangnya musim penghujan di desaku tercinta.
Pagi
diawal musim penghujan ini,kami bersuka ria bersama alam demi meluapkan
kesenangan dan kebahagiaan. Semua warga tergesa-gesa menggamit wadah untuk menadah
hujan. Aku pun segera menghambur keluar rumah agar guyuran
hujan membasuh sekujur tubuhku yang seolah haus akan rindu alam di
musim basah. Inam temanku lebih bersemangat lagi. Ia lepaskan semua bebeknya
yang ada dikandang,seolah tak ingin kehilangan waktu pertama saat hujan tiba. Aroma
tanah kering segera menguar masuk ke hidungku. Sebelum kemudian terhempas
sekejab bersama angin yang seolah menghapus semua derita desa selama enam bulan
ini, yang menunggu tetesan air hujan turun untuk semua kehidupan di desa kami.
Rasanya
bagaikan mimpi yang selalu terngiang dihidupku,bila musim penghujan datang pada
waktunya.
“Randa
sini,Nak!” sebuah suara lembut keluar dari
dalam rumah. Suara Ibuku, Bu Guru Sukiyem. Begitu beliau biasa disapa karena profesinya sebagai guru desa
di Bumi Rahayu,desaku. Tapi ibuku hanyalah guru honorer,dan hanya beliaulah satu-satunya
guru perempuan yang ada didesaku. Amat pedih melihatnya dengan keterbelakangan
keluarga kami yang semakin terpuruk setelah meninggalnya ayah setahun silam.
Ibu berkerja sendiri dan aku selalu membantu pekerjaannya.Semampuku.
Aku masih duduk dikelas lima SD. Di sekolah tempat Ibuku mengajar.
Sering aku melihat ibu kewalahan dengan setumpuk tugas mengajarnya, di kelas satu
sampai kelas empat.Walaupun Ibu hanya guru honorer tapi tugasnya seperti
guru-guru pada umumya, meski tetap tanpa tunjangan dari Pemerintah selaiknya guru
atau PNS pada umumnya.Pedih rasanya melihat Ibu kelelahan sepulang ia bekerja.
***
Untuk pekerjaan
Ibu sebagai guru, beliau hanya beroleh upah yang hanya berkisar Rp 30.000 per
bulan, yang kadang juga tak menentu.Bahkan sesekali Ibu tak menerima uang
sepeser pun dari perkerjaannya itu.
Tapi
jika tak ada tugas panggilan sebagai guru, Ibu beralih menjadi seorang
ibu petani handal.Meski hanya dengan upah yang tak terlalu tinggi, Rp 7.000 per
hari.Itupun jika musim penghujan datang seperti sekarang. Jika tidak, aku dan Ibu
mencari pekerjaan apapun, yang penting halal dan bisa menghilangkan rasa lapar
yang melilit perut.
Lintasan
cerita tentang kehidupanku bersama Ibu, seketika buyar saat mendengar panggilannya.
Aku bergegas dengan tubuh yang basah kuyup hingga tiba di hadapannya.
“Ada hal
penting yang ingin Ibu beritahukan kepadamu. Lekaslah bebersih.”
Setelah
itu, di bibir Ibu tersungging senyum tipis, yang manis. Aku tahu persis arti
senyuman itu. Senyum yang teramat manis itu tak bisa kuungkapkan dengan sekadar
kata-kata biasa.Bagiku, Ibu adalah pahlawan dalam kesepian.
Lambat
laun aku semakin mengerti akan semua yang Ibu kerjakan selama ini.
Usai
bebersih,aku segera menghambur ke kamar Ibu untuk menanyakan hal yang semula ia
ingin sampaikan padaku tadi pagi.
Sembari memegang
pundakku Ibu berkata lirih.
“Ibu ingin
sekali anak-anak didesa ini berkenalan dengan kecanggihan teknologi komunikasi
yang tak pernah terjamah selama ini. Janganlah terus-menerus terpuruk. Kamu mau
kan membantu Ibu untuk mewujudkannya?”
“Bagaimana
caranya, Bu?
Ibu pun
mulai memberikan penjelasan tentang seberapa penting teknologi dan media massa
untuk masyarakat umum. Hingga aku semakin paham dan mulai mempelajarinya dengan
bantuan buku-buku yang Ibu bawa dari sekolah.
***
Setelah seminggu
musim penghujan menyambang, masalah baru pun muncul. Kami tak pernah memakai
sandal atau sepatu ketika hendak bepergian. Karena hal itu sama saja
mempersulit gerak. Belum lagi dengan lumpur yang menempel di telapak sepatu
atau sandal—yang talinya bisa seketika putus jika kaki kami amblas di lumpur, atau struktur jalan berlapis tanah merah yang
menjadi semakin licin.Rasanya seperti musibah bila harus membeli sandal atau
sepatu baru yang harganya menurut kami teramat mahal. Lebih baik uangnya untuk
membeli beras di warung Mbah Surujan, di desa Sabrang Lor.
Apa
daya. Masalah itu memang harus terjadi dan dihadapi. Karena minggu ini aku dan Ibu
harus pergi menuju kecamatan untuk menemui salah satu temannya yang berada
disana.
Desaku
memang terbelakang untuk urusan ini. Karena terpelosok, jauh dari kota, dan
jika memang ingin pergi ke kota, harus dengan mengendarai motor dan bisa
menghabiskan waktu sekitar enam jam. Bayangkan jika untuk menempuhnya kami
harus berjalan kaki?
Dikota,
semua memang terasa mudah. Meski hanya orang berduitlah yang bisa merasakannya.
Di kecamatan, lain ceritanya. Sekalipun ada kantor kecamatan dekat desa,tak ada
fasilitas yang mendukung. Hanya ada satu komputer saja yang memang terhubung
dengan jaringan internet. Aku diberi tahu Ibu soal internet ini,karena kemarin aku
diajak beliau untuk bertemu temannya dikecamatan,untuk memberikan pelajaran
singkat bagaimana mengoperasikan komputer dan menggunakan internet. Alat yang
asing untuk hidupku,walaupun sebelumnya sudah kupelajari dari lembaran buku
pemberian Ibu.
Dari internet
itulah kemudian kutahu seberapa penting media sosial untuk kehidupan kita. Semua
jadi lebih cepat,dekat,dan lekat. Untuk
bisa mewujudkan semua hasil pengetahuan yang kudapat dari buku pemberian Ibu,aku
harus berjalan berpuluh-puluh kilometer yang menguras keringatku dan sesekali
tergelincir di jalanan yang licin menuju kecamatan, untuk menerima pelajaran
cuma-cuma dari salah satu teman Ibuku, Pak Iman.
Rasanya
memang ada perbedaan ketika aku melihat dan mempelajari media sosial seperti
sekarang. Meski tetap saja terasa masih kurang. Keadaan yang tak mendukung dan alam
tempat kami yang terpelosok dari kota,sangat menghambat kamiuntuk menjelajah melalui
jejaring sosial. Itu adalah sebagian kecil hambatan yang ada didesa kami. Tapi
tak apalah.Itu hanya selintas pembelajaran dihidup kamiyang serba kekurangan
tapi tetap menjunjung tinggi rasa keimanan kepada Sang Khaliq. Akutetap
bersyukur, Ibu apalagi. Semua penduduk di desaku pun begitu. Semua menerima
dengan lapang dada.Seperti senyum manis tipis Ibuku itu.
***
Tak terasa sudah
satu bulan musim penghujan datang menyambangi kami. Setelah terus mempelajari
dunia jejaring sosial, aku pun semakin yakin bahwa hidup kami bisa diubah. Aku
ingin mengubah keadaan desaku dari keterpurukan ketidaktahuan akan dunia lain
yang berada jauh dari desaku ini,agar semua penduduk desaku tahu banyak tentang
kota-kota diluar sana yang dihiasi keindahan lain yang tak ada di desa kami.
“Kring...
kring... kring...” seketika terdengar bunyi klakson sepeda tua yang di kayuh
oleh lelaki separuh baya dari kejauhan sana,tergesa-gesa, samar dan semakin
dekat menuju tempatku duduk diatas baledidepan gubuk reot kami. Akhirnya lambat
laun terlihatlah siapa lelaki itu. Ia adalah salah satu teman Ibu dari
kecamatan, Pak Kumis.
Ia
mendekatiku. Lalu menyapa dengan lembut dan memberikan padaku sepucuk surat
yang baunya harum. Aku pun membuka surat itu dengan menyobek bagian kiri atasnya.
Setelah itu kuhampiri Ibu yang sedang menyapu halaman depan gubuk kami. Ibu pun
mulai membacaikata demi kata sedari awal kalimat hingga akhir. Aku dan Ibu sekilas
saling bersitatap, dan dimatanya kulihat binaran cahaya yang begitu indah.
Surat
itu berisi undangan dari bapak camat Desa untukku dan Ibu,untuk menghadiri sebuah
acara di kantornya.Ternyata semuapenduduk desa juga mendapatkan undangan yang sama. Tujuannya belum pasti.Tapi pesan yang
tertera didalam surat adalah, untuk meningkatkan kemajuan desa kami dan desa
yang ada di Seberang Lor.
***
Hari itu pun
tiba.Sedari pagi buta aku dan Ibu sudah berbenah rumah demi menghadiri undangan
pak camat dikantornya. Meski gerimis tak jua reda, akhirnya kami kami tetap
menuju ke lokasi acara. Sialnya, di tengah perjalanan aku tergelincir dan jatuh
di kubangan lumpur yang tak bisa kulewati.Alhasil seluruh pakaianku terbalut lumpur.
Padahal aku tak membawa lagi pakaian ganti. Sementara itu, baju Ibu pun kecipratan
lumpur yang sekarang menempel di tubuhku.Tapi Ibu bersikeras untuk tetap menuju
kantor camat. Hampir empat jam lebih waktu yang kami tempuh dalam kondisi seperti
anak kucing yang baru saja naik dari comberan.
Kami
sampai di lokasidengan pakaian seadanya. Didepan pintu masuk sudah ada dua
lelaki paruh baya yang memang bertugas menunggu para tamu di acara itu. Kami
mendekat ke arah mereka dan segera menunjukkan kartu undangan. Kedua lelaki itu
lantasmempersilahkankami masuk ke ruangan acara untuk mendengarkan pidato dari Pak
Camat, yang berdasar cerita dari penduduk desa,ia adalah sosok lelaki yang
memiliki senyuman menawan dan kepribadian berwibawa. Tapi sayangnya,kami hanya
bisa mendengar pembicaraan dari luar ruangan yang disatukan dengan para
undangan yang sama seperti kami: tidak berpakain rapih. Rasanya pedih memang.
Didiskriminasikan
diantara yang lainnya.
Hari itu
pun seketika senyap. Seperti hari tanpa hari. Kami pulang dengan harapan hampa
tanpa dapat melihat kedatangan Pak Camat, pun kepergiannya. Kami hanya
mendengar samar-samar suaranya lewat pengeras suara yang menyerukan untuk
pembangunan khususnya internet di desa kami. Pesan itulah yang melipur hatiku
dan Ibu untuk segera sampai di rumah dan mengabarkannya kepada Inam.
***
Pagi ini beging.
Indah. Aku sedang asyik melamun di atas bale ketika lelaki pembawa undangan
tempo hari itu datang lagi hari ini.Ia memberiku sebuah bingkisan nan
sederhana. Benar-benar sederhana. Tapi menjadi tidak sederhana lagi setelah
kutahu yang mengirimkannya adalah Pak Camat sendiri. Khusus untuk para undangan
yang kemarin lusa tak sempat bertemu dengan beliau. Usai bertemu denganku,
lelaki paruh baya itu pun hilang di kejauhan.
Aku pun
segera menghampiri Ibu dan membuka bingkisan itu. Ternyata di dalam bingkisan
itu ada sebuah undangan untuk kursus komputer, lengkap dengan fasilitas
internetnya. Aku seperti bermimpi di siang bolong. Masih di dalam undangan itu.Ada
sebaris kalimat yang ditulis langsung olehPak Camat, yang berbunyi:
“Tetaplah
semangat, Randa. Belajarlah terus untuk masa depanmu yang lebih cerah. Joko
Aminoto.” []kameliaindriyanie@gmail.com
No comments:
Post a Comment
Hi! Join us for my account twitter @kameliaonta. Have fun! ;)