Malam ini, jum’at 23 Januari tahun 2002. Umurku genap 17
tahun, kata ibu.
Kamu tahu siapa aku? Pasti kamu tak akan pernah
menghiraukannya bukan? Aku bertanya dengan ketulusan hati, dan menjawabnya
dengan seluruh sanubari. Jikalau kamu bagaimana?.
Ada hal yang ingin ku utarakan kepada dirimu kawan, tapi
ingat cukup hanya aku, kau, dan dirinya saja yang menngetahuinya. Janji????.
Baiklah, untuk kesekian kalinya, ku ceritakan ini kepada
kalian tentang apa yang saksikan.
Bermula dari cerita ibuku. Beliau adalah ibu kalbu yang kian
terus menyuburkan rasa kebahagiaan, hingga tiada henti-henti, haus akan cinta
kasih mulanya. Aku tak tahu menceritakannya dengan bahasa seperti apa, tapi aku
ingat semuanya. Masih terekam jelas oleh ingatanku, sungguh.
Ditiap malam wewangian sunyi, ibu selalu menceritakan dari mana
asalnya diriku, dia meng-angapku bak malaikat yang kian dilontarkan dalam bayang-bayang
semu. Aku ingat sekali ketika ia mengatakan bahwa aku adalah anak malaikat,
aku diturunkan kebumi bukan dari benih sperma pria yang akhirnya di taruh rahim
sang peneduh.
Kala ibu bercerita ketika malaikat sedang menanyakan hal kepadaku yang kelak aku akan disambarnya kedalam rahim sang peneduh. Begini menurut apa yang ibu ceritakan ;
Kala ibu bercerita ketika malaikat sedang menanyakan hal kepadaku yang kelak aku akan disambarnya kedalam rahim sang peneduh. Begini menurut apa yang ibu ceritakan ;
Disatu malam sepasang malaikat dan aku bertemu untuk jumpa
pertama kalinya, mungkin disurga, katanya.
“Wahai anak punjanga kau telalu lembut dan murni untuk bisa
ke rahimnya”. Malaikat pun bertanya awalnya.
“Tak apalah aku ingin menjadi penjaga seseorang yang kian
kau sebut-sebut sebagai peneduhku itu!” Akupun tak ayal menjawabnya.
Dan seketika, sepasang malaikat itu pun membawa ruhku dari
langit dan disemaikannya kedalam rahim perempuan yang kelak ku panggil ibu. Secara
bergantian sepasang malaikat tersebut membisikkan apa yang akan menjadi nasibku
kelak. Seperti adonan yang dibentuk seindah rupawan, dibentuk tangan dan kaki
yang menyelusup ke tubuh munggilku. Aku senang sekali ketika malaikat
menyematkan hidung dan telingga. Sungguh bahagia sekali rasanya.
Seketika mereka memperlihatkanku sepasang mata yang indah. Mereka
berkata lirih “ Mata ini akan membuatmu betambah jelita, namun juga menderita”.
Lalu kukatakan kepada mereka “Jika mataku ini mebuahkan penderitaan,
biarkan aku tak usah memilikinya”
“Kelak kau akan megetahui seluruh rahasia yang mereka tak
ketahui sebelumnya”
“Kalau begitu, biarkan aku tak memilikinya, karena aku dapat
melihat tanpanya”
Lalu mereka pergi dan menyimpan mata itu,
“Kelak kau dapat mengambil sepasang bola mata ini sesuka
hatimu, disurga”
***
Ditiap malam yang
lembam akan siuran angin yang kian begelit kesenjaan, ibu selalu menutup
ceritanya dengan memenjamkan mata, lalu tubuhnya yang ringkih tidur dengan
pulas, tak lupa secuil senyuman tersungging dibibir lusuhnya.
Namun kian menghantarkan aku pada juta pertanyaan yang ingin kulantunkan kepadanya.
Namun kian menghantarkan aku pada juta pertanyaan yang ingin kulantunkan kepadanya.
Tidak seperti aku. Kian ditiap malam selalu mendengar
bebunyian yang terkadang mengetarkan sekujur bulu roma, entah dari mana
asalnya, entah mengapa selalu terbesit didalam nestapa. Tak ada yang pernah
mendengarnya selain aku dan hewan-hewan kecil yang bersembunyi dalam kegetiran
bumi. Ibupun tidak, kau tahu suara itu berasal dari mana?
Itu pertanyaan sedariku berajak dewasa, kawan.
Ibu tak pernah mau menceritakannya sampai keseluruhan, aku
mengerti karena ia tak ingin menyakiti hatiku. Dia tak pernah tahu bahwa
sejumput cerita yang selalu ia usik adalah cerita yang sesungguhnya yang selalu
tersematkan oleh kibaran serbuk mimpiku. Aku tak pernah menceritakannya karena
kutahu, itu tak berarti lagi, sekarang aku memiliki ibu yang selalu menemaniku
di tiap malam kelabu, kukira ini hanyalah kembang mimpi yang selalu tertancap
dalam binaran matanya.
Jika aku ceritakan ini, apakah kau akan percaya?.
Bahwa apa yang dikatakan sepasang malaikat itu benar, aku dapat melihat. Sungguh aku bisa
merasakan itu. Memang aku tak memiliki sepasang mata yang indah seperti kalian
tapi sungguh aku tak pernah berdusta. Aku dapat melihat langit yang hijau dan
lebut sekiranya peraduan senja yang kian berkitaran diatasnya halus, sehalus
kapas. Aku dapat melihat pepohonan yang ungu keungu-unguan, dedaunan yang
kemerahan serta batang yang berwarna biru kelumutan. Butiran hujan yang selalu
memercikan hingga menyambar jemariku yang tampak megah berkilauan seperti
berkelibat dengan kekhusyukan didalamnya. Bisa kulihat hamparan rumput yang
selalu berteriak manis menyambut siapa saja yang enggan menolaknya, juga angin
yang putih kelabu dan biru laiknya sebuah beludru. Aku dapat menyentuhnya,
hanggat rasanya, dingin jika tercium, bahkan aku bisa menyentuhnya si sela-sela
jemariku yang selalu berkitaran dan menari-nari didalamnya.
Semoga kau percaya akan semua yang kuceritakan, cerita ini
tak usai hanya sebatas sini saja.
***
Sengaja ku buka kelopak mataku, agar kau bergidik ketakutan. Namun kulihat kau tak begitu. Sudah ku jelaskan apa sesungguhnya yang terjadi, bukan sekadar ilusi namun kesungguhan. Bagaimana tidak ibu yang melahirkanku membuang diri ini ketempat dengan kekeruhan luar biasa, mungkin dia pun sama dengan apa yang kau rasakan ketika sekejap kuperlihatkan kelopak mataku ini.
Aku tak akan menderita berlarut-larut, sungguh. Kepedihan
selalu beujung kebahagian, itu menurutku. Bertahun-tahun aku diungsikan disatu
pondok yang sekarang majadi markas besar para anak-anak terlantar didalamnya
yang akhirnya dijadikan budak-budak berpenghasilan tinggi, maksutku
pengemis-pengemis jalanan.
Aku melihat ini, satu hari ada anak yang bertubuh normal
laiknya anak-anak yang terlahirkan biasa, telingganya di iris, kakinya
dihancurkan bak mesin penghancur hingga menjadikannya lumpuh agar dikasihani
manusia-manusia lainnya. Cukup aku ceritakan selintasannya saja, aku pun ngeri
dibuatnya.
Aku terkesima menyaksikannya, langit seolah-olah runtuh dan
meratapi kemendungan ditiap harinya. Ku lihat ia bergantungan di atap-atap
kesyahduannya. Dan menciumi seluruh kehidupan yang kian membinasakan. Saat itu
aku melihat ribuan kembang berupa-rupa yang betebaran ke atas, seperti
mengiringi keadaan ini sampai akhirnya kau membawaku ke tepi, entah apa.
Mungkin kematian.
Kuceritakan ini kepada kalian, tapi kalian tetap mengangapku
pendusta. {KIY}
P Aruoem, Tangerang,
Agoestus 2012