Thursday, August 16, 2012

Ratap Gadis Senja




Malam ini, jum’at 23 Januari tahun 2002. Umurku genap 17 tahun, kata ibu.
Kamu tahu siapa aku? Pasti kamu tak akan pernah menghiraukannya bukan? Aku bertanya dengan ketulusan hati, dan menjawabnya dengan seluruh sanubari. Jikalau kamu bagaimana?.
Ada hal yang ingin ku utarakan kepada dirimu kawan, tapi ingat cukup hanya aku, kau, dan dirinya saja yang menngetahuinya. Janji????.
Baiklah, untuk kesekian kalinya, ku ceritakan ini kepada kalian tentang apa yang saksikan.
 Bermula dari cerita ibuku. Beliau adalah ibu kalbu yang kian terus menyuburkan rasa kebahagiaan, hingga tiada henti-henti, haus akan cinta kasih mulanya. Aku tak tahu menceritakannya dengan bahasa seperti apa, tapi aku ingat semuanya. Masih terekam jelas oleh ingatanku, sungguh.
Ditiap malam wewangian sunyi, ibu selalu menceritakan dari mana asalnya diriku, dia meng-angapku bak malaikat yang kian dilontarkan dalam bayang-bayang semu. Aku ingat sekali ketika ia mengatakan bahwa aku adalah anak malaikat, aku diturunkan kebumi bukan dari benih sperma pria yang akhirnya di taruh rahim sang peneduh. 
Kala ibu bercerita ketika malaikat sedang menanyakan hal kepadaku yang kelak aku akan disambarnya kedalam rahim sang peneduh. Begini menurut apa yang ibu ceritakan ;
Disatu malam sepasang malaikat dan aku bertemu untuk jumpa pertama kalinya, mungkin disurga, katanya.
“Wahai anak punjanga kau telalu lembut dan murni untuk bisa ke rahimnya”. Malaikat pun bertanya awalnya.
“Tak apalah aku ingin menjadi penjaga seseorang yang kian kau sebut-sebut sebagai peneduhku itu!” Akupun tak ayal menjawabnya.
Dan seketika, sepasang malaikat itu pun membawa ruhku dari langit dan disemaikannya kedalam rahim perempuan yang kelak ku panggil ibu. Secara bergantian sepasang malaikat tersebut membisikkan apa yang akan menjadi nasibku kelak. Seperti adonan yang dibentuk seindah rupawan, dibentuk tangan dan kaki yang menyelusup ke tubuh munggilku. Aku senang sekali ketika malaikat menyematkan hidung dan telingga. Sungguh bahagia sekali rasanya.
Seketika mereka memperlihatkanku sepasang mata yang indah. Mereka berkata lirih “ Mata ini akan membuatmu betambah jelita, namun juga menderita”.
Lalu kukatakan kepada mereka “Jika mataku ini mebuahkan penderitaan, biarkan aku tak usah memilikinya”
“Kelak kau akan megetahui seluruh rahasia yang mereka tak ketahui sebelumnya”
“Kalau begitu, biarkan aku tak memilikinya, karena aku dapat melihat tanpanya”
Lalu mereka pergi dan menyimpan mata itu,
“Kelak kau dapat mengambil sepasang bola mata ini sesuka hatimu, disurga”


                                                                               ***


Ditiap  malam yang lembam akan siuran angin yang kian begelit kesenjaan, ibu selalu menutup ceritanya dengan memenjamkan mata, lalu tubuhnya yang ringkih tidur dengan pulas, tak lupa secuil senyuman  tersungging dibibir lusuhnya.
Namun kian menghantarkan aku pada juta pertanyaan yang ingin kulantunkan kepadanya.
Tidak seperti aku. Kian ditiap malam selalu mendengar bebunyian yang terkadang mengetarkan sekujur bulu roma, entah dari mana asalnya, entah mengapa selalu terbesit didalam nestapa. Tak ada yang pernah mendengarnya selain aku dan hewan-hewan kecil yang bersembunyi dalam kegetiran bumi. Ibupun tidak, kau tahu suara itu berasal dari mana?
Itu pertanyaan sedariku berajak dewasa, kawan.
Ibu tak pernah mau menceritakannya sampai keseluruhan, aku mengerti karena ia tak ingin menyakiti hatiku. Dia tak pernah tahu bahwa sejumput cerita yang selalu ia usik adalah cerita yang sesungguhnya yang selalu tersematkan oleh kibaran serbuk mimpiku. Aku tak pernah menceritakannya karena kutahu, itu tak berarti lagi, sekarang aku memiliki ibu yang selalu menemaniku di tiap malam kelabu, kukira ini hanyalah kembang mimpi yang selalu tertancap dalam binaran matanya.
Jika aku ceritakan ini, apakah kau akan percaya?.
Bahwa apa yang dikatakan sepasang malaikat  itu benar, aku dapat melihat. Sungguh aku bisa merasakan itu. Memang aku tak memiliki sepasang mata yang indah seperti kalian tapi sungguh aku tak pernah berdusta. Aku dapat melihat langit yang hijau dan lebut sekiranya peraduan senja yang kian berkitaran diatasnya halus, sehalus kapas. Aku dapat melihat pepohonan yang ungu keungu-unguan, dedaunan yang kemerahan serta batang yang berwarna biru kelumutan. Butiran hujan yang selalu memercikan hingga menyambar jemariku yang tampak megah berkilauan seperti berkelibat dengan kekhusyukan didalamnya. Bisa kulihat hamparan rumput yang selalu berteriak manis menyambut siapa saja yang enggan menolaknya, juga angin yang putih kelabu dan biru laiknya sebuah beludru. Aku dapat menyentuhnya, hanggat rasanya, dingin jika tercium, bahkan aku bisa menyentuhnya si sela-sela jemariku yang selalu berkitaran dan menari-nari didalamnya.
Semoga kau percaya akan semua yang kuceritakan, cerita ini tak usai hanya sebatas sini saja.


                                                                                 ***


Sengaja ku buka kelopak mataku, agar kau bergidik ketakutan. Namun kulihat kau tak begitu. Sudah ku jelaskan apa sesungguhnya yang terjadi, bukan sekadar ilusi namun kesungguhan. Bagaimana tidak ibu yang melahirkanku membuang diri ini ketempat dengan kekeruhan luar biasa, mungkin dia pun sama dengan apa yang kau rasakan ketika sekejap kuperlihatkan kelopak mataku ini.
Aku tak akan menderita berlarut-larut, sungguh. Kepedihan selalu beujung kebahagian, itu menurutku. Bertahun-tahun aku diungsikan disatu pondok yang sekarang majadi markas besar para anak-anak terlantar didalamnya yang akhirnya dijadikan budak-budak berpenghasilan tinggi, maksutku pengemis-pengemis jalanan.
Aku melihat ini, satu hari ada anak yang bertubuh normal laiknya anak-anak yang terlahirkan biasa, telingganya di iris, kakinya dihancurkan bak mesin penghancur hingga menjadikannya lumpuh agar dikasihani manusia-manusia lainnya. Cukup aku ceritakan selintasannya saja, aku pun ngeri dibuatnya.
Aku terkesima menyaksikannya, langit seolah-olah runtuh dan meratapi kemendungan ditiap harinya. Ku lihat ia bergantungan di atap-atap kesyahduannya. Dan menciumi seluruh kehidupan yang kian membinasakan. Saat itu aku melihat ribuan kembang berupa-rupa yang betebaran ke atas, seperti mengiringi keadaan ini sampai akhirnya kau membawaku ke tepi, entah apa. Mungkin kematian.
Kuceritakan ini kepada kalian, tapi kalian tetap mengangapku pendusta. {KIY}

P Aruoem, Tangerang, Agoestus 2012

Friday, August 3, 2012

Dengarkan ini, Senja!


Kau mau tahu? mengapa aku selalu memanggilmu dengan sebutan "senja",  
yah walaupun itu memang bukan namamu. Bukan pula nama margamu.
Aku tahu kau pasti akan selalu diam dan takan bersajak apapun ketikaku berucap. 
 Tapi tolong dengarkan sejenak semua yang ingin kukatakan kali ini!



Aku ingat ketika kau mengusap keningku dengan sapu tangan birumu yang lusuh itu. 
Aku ingat betul kau selalu mengucapkan hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. 
***

Di tempat itu, ia meneguk rindu yang kias terlampaui ciuman hangat darinya. Kau masih ingat?.
Aku melihat semuanya, tak perlu kau tutup-tutupi, semua binaran cahaya redup kunang-kunang kian berkitaran dihadapanmu. Kau tahu siapa mereka!. 
Mereka bukan hanya sekadar ilusiku semata, tapi mereka adalah duri yang kian menusukku hingga palung sanubari. Pedih.





 
Ku tertegun melihat ulah ketiadaan ini, laiknya hari ditiada harikan. Kelam.
 Kau diam dan aku terdiam, disaat itulah kita berpisah dan tak tahu kapan akan kembali. Kau hanya mengucapkan selamat tinggal dan mencium kening, memegang erat jemariku, aku membalasnya dengan ciumam yang biasa ku lakukan kepadamu.
Kau hanya membalas senyum kepadaku. Senyummu, yah senyummu bagaikan  kesedihan yang berujung kematian. Senyummu mengetarkan, mengayunkan,  menebarkan pesona sejatinya.



 
Kau hilang ditelan senyap malam. Aku ingin menghapuskan, lalu hilang dari kesunyian. Kota ini kota mati bertiadaan kehidupan. Semua rapuh, yang tertinggal hanyalah kesakitan  kian mengapung di udara. Menyelesup ke balik celah-celah kehampaan yang selalu terbesit dalam angan ditiap keheningan malam. Itulah dirimu senja!
(Aku menunggumu Senja. Sungguh.)
                               {KIY}