Satu
hari hiduplah seekor kodok yang kian bersedih, kini matanya tak berbinar
seperti dulu, wanginya pun tidak. Jika rembulan enggan memudar ia selalu menangisi
keadaan fisiknya yang sering mejadi olok-olokan hewan lain.
Kini ia hidup
sebatang kara di hutan terpencil yang mulai disesaki oleh limbah perkotaan. Tak
ada aroma menyejukkan disana, sekarang. Bak tong sampah yang mulai berlumut dan
ditunggangi para pengurai jahanam.
Sang kodok ditinggalkan
kedua orang tua dan kerabatnya seminggu lalu, karena ulah keji para manusia. Tangan dan kakinya pun
patah karena peristiwa pembantaian tersebut.
Pada malam hari
menjelang tidurnya, sang kodok berdoa;
“ Tuhan, terimakasih
telah kau jadikan aku kodok yang kian selalu mengumbara kemana pun mauku.
Kau berikan
aku sayap indah yang mampu menerbangkanku kebukit unggu kebiru-biruan para dewa awan di atas sana.
Kau berikan aku
sirip menawan untuk melancarkan kehidupanku dan untuk menemui surga di bawah
sana.
Terimakasih atas bebatuan
yang telah kau sematkan dideras aliran sungai ini, untuk pijakkan kakiku. Dan untuk
tumpuan hidupku..
Terimakasih Tuhan,
karena kau selalu bersamaku—“ #KIY
(kodok adalah perumpamaan aku, kamu, mereka, dan kalian)