Friday, April 12, 2013

Jari Meruak




JUMAT, 12 APRIL—2013. Dua hari menjelang Ujian Nasional tingkat SMA
(Sekolah Menengah Atas), akan aku ceritakan sebagian perasaanku yang amat terdalam dan tampil dalam hidupku ini. Ujian terakhir adalah pengalaman yang membuatku semakin berpikir untuk masa depan bukan karena diriku sendiri tapi tak ayalnya juga untuk diri orang lain.
Sebelumnya akan aku ceritakan bagaimana perasaan kelam ini memnghampiriku. Baik, aku mulai tapi aku mohon jangan ada yang berdeham bilaku ceritan ini, kumohon.
Semua yang aku bicarakan tak ayal dari kemampuanku yang hanya sebatas anak manusia.Tidak akan ku lebihkan—ataupun kan ku-kurangi—.
Satu malam, tepatnya malam Kamis, Ayah dan ibu melihatku membaca novel di kamar, aku tahu mereka sangat tidak suka melihatku membacanya. Tapi sudah kuberitahu kepada mereka, aku ingin sekali membaca novel atau bacaan apapun selain buku pelajaran kepada mereka, tapi entah mengapa mereka menolaknya lalu berkata lirih; bahwa aku harus terus belajar dan tak boleh membaca selain buku-buku pelajaran yang akan di Uji kan di hari mendatang. Aku sontak dan langsung menjelaskan dengan lembut  kepada mereka, bahwa sebagian dari 24 jam tadi, aku sesak menjejalkan isian buku-buku (pelajaran) itu kedalam otakku.  Aku merasa lelah karena setengah dari hari-hariku ini kian-ku berikan kepada otak yang segengam tangan ini untuk berkerja keras memasukkan rumus-rumus itu. Tidak ku jejalkan tapi guru-guruku yang menjejalkanya dan membuatku merasa tersedak jika menoleh sedikit saja dari pelajarannya.
“Lalu apa ini salahku!,” dongkolku dalam hati. Aku terdiam dan ayah seketika menghampiriku dan perdebatan  hebat menerjangku malam itu. Aku tertegun melihatnya, buah pintu yang masih gagah bak prajurit dikamarku langsung melonjak menerjang dinding di sampingnya dan terdengar bunyi seperti pistol yang sedang ditembakkan kearah lajunya pertandingan. Aku hanya bisa menangis dan menagis. Bukan karena aku malu, atau lelah—atau sekalipun aku sakit hati dengan ucapan ayah dan ibu ku semalam, bukan itu tapi mungkin hanya saja air mataku enggan terus-terusan bersembunyi dibalik bilik kehampaan di korneaku. Yah mungkin saja.
***
Setelah perdebatan panjang itu berakhir, dimalam itu pula aku merasa terasingkan di rumahku sendiri; di pelantaran, di kamar, di dapur, atau di ruangan manapun aku berada. Aku tak kuasa menahan air mata lalu membuang harapan-harapan indah diluar sana untukku, aku berpikir bahwa kehidupanku berbeda dengan kehidupan orang lain. Aku berbeda dengan ke-tiga kakak perempuan dan satu adik perempuan manisku itu. Aku mulai menagis—lagi dikamar mandi, itu hal biasa bagiku, aku sering melakukan itu. Bukan hanya sekali tapi begitu terus jika air mata ini tak bisa terbendung dan segera ingin meluncur kepipiku. Alasannya aku hanya tak ingin melihat orang lain mendengar ataupun melihat air mataku itu terjatuh, bukan pula aku takut dinilai mereka cengeng atau tak bisa mandiri karena apa yang telah diri ini perbuat. Tapi sekali lagi bukan! Aku hanya ingin menenangkan hatiku saja. Tak lebih dan tak pula jua berkurang.
Apa kau tahu separuh rasa takut dan lelahku menghilang selepas itu?, yah memang benar kata petuah; “Jika kau terluka atau kau ingin menangis, yah menangislah! tunggu apa lagi. Karena itu akan membuatmu mulai tersenyum kembali.” Yap kata-kata itu sangat telak pada diriku,  walaupun menangis didalam persembunyian kecilku tadi.  Sedikitpun tak apalah.
***
Pagi meruak. Seperti biasa, aku pun terbangun dan beranjak ke sekolah tepat pada waktunya, usai pembelajaran yang sangat “menyenangkan” disekolah. Aku langsung pulang. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi?!
Rak novel dan bacaan ku lainnya lenyap dan entah kemana perginya, tak ada jejak dan pesan dari buku-buku kesayangan—ku  itu, aku bertanya kepada ibu. Lalu dengan ketus ia hanya menjawab dengan tenang, singkat, dan tetap menyakitkan bagiku. Ia hanya menjawab “entahlah…!” peluruh itu langsung telak mengenai organku yang paling penting yaitu HATI!.
Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi, yang kupikirkan hanya buku-buku bacaan yang selalu menemaniku di tiap malam telah raib entah kemana, seperti kali ini. Aku kalut, tak sedikit pun kutemui mataku berbinar, sangat tidak ada. Kucari dan ku cari, aku tak ingin menangis dulu. Tapi aku tak tahu mungkin air mataku ogah meluncur ataukah mereka ikut letih seletih hati dan pikiranku sekarang. Kami terus menyelusuri dan merongok-rogok apapun yang berada didepan ataupun dibalik lemari di segala penjuru rumah. Tapi tetap tak bisa ku temui buku-buku itu. Aku kembali jatuh dan tak ayalnya seperti anak kecil yang terus merongrongkan  kepedihan karena kekalahanku seusai bermain. Aku letih—bisik ku.
***
Tanggal 11 Mei nanti, aku berusia 18 tahun, cukup besar untuk berpikir dan mengetahui apa yang harus di lakukan untuk kehidupanku atau tidak, tapi entah mengapa, mereka terus menerus mengaturku seperti anak kecil yang tak bisa berjalan dan dipapah menuju tongkat besi yang sangat mengilukan tulangnya, hal itu sangat menyakitkan.
Sebelumnya akan aku ceritakan pula, bahwa aku sudah memiliki seorang kekasih. Aku mencintai karena aku ingin membahagiakan diriku sendiri tak pula ada pikir niatku untuk menyakitinya, aku selalu berpikir untuk menyenangkan hatiku, selalu. Tapi aku terus-menerus menyakitinya. Kekasihku bernama Merpati. Ia hanya seorang merpati yang hidup di kayangan, dia baik, tinggi, tampan, dan memiliki hal yang sangat indah untukku. Kami sudah tiga ratus dua lima bulan berhubungan. Dia ku pilih bukan karena aku telah jatuh hati padanya, awalnya aku hanya ingin melihat dan menghampirinya, tapi entah seketika aku tertarik dibuatnya. Perbedaan usia kami lebih dari enam tujuh dua tahun, yah aku yang lebih tua dibandingkannya. Dia adalah adik kelasku semenjak aku duduk di bangku SMA. Tapi entah mengapa sekarang ia kasar, dan kami pun selalu bertengkar karena hal- hal yang ia lakukan didalam hubungan kami. Ku merasa geram dengan tingkahnya yang kian tak menghormatiku sebagai pasangannya, pertemuan kami di lakukan hanya beberapa detik saja bahkan detik pun tak terhitung. Sangat berbeda ketika pertemuan kami saat pertama, yang kian manis dan membuat peluh hati siapa saja yang melihatnya.
Aku rindu dengan ucap manisnya, tapi kini pertengkaran—itu semakin hebat, aku rasa hubungan kami sudah tidak sehat dan jika aku rasa pertengkaran ini takan usai karena semuanya berego tinggi.  Aku hanya ingin mengakhirinya dengan perkataan tinggi yang tak ingin hatiku terjatuh lagi, tapi jika aku sudah berkata untuk mengakhiri hubungan kami, ia selalu berubah dengan hal yang selalu aku rindukan di tiap jumpa kami pertama. Aku tak bisa menolaknya dan kami pun kembali—.
Tapi tiga hari kemudian hal itu terjadi lagi, berulang-ulang. Ia menghakimiku dengan tingkah laku dan perkataannya. Seharusnya Mepati selalu lembut ucap dan tingkahnya, tapi Merpati satu ini memiliki ego seperti tamparan dari kepakan sang elang empunya.
Untuk kali ini aku hanya ingin diam, lalu menunggu perubahan Merpati yang jujur dan ia tak akan mengulanginya lagi. Aku hanya mengharapkan hal itu tidak lebih ataupun berkurang. Telah aku ucapkan ini berkali padanya. Tapi sampai saat ini aku belum pula mendapati hal yang kami debatkan hingga membuat dirinya berubah. Sampai saat ini aku belum tahu jawaban darinya, ‘ia benar benar menyayangi—ku ataukan hanya sekadar menyukai—ku,’ itu hanya rahasia. Mungkin saja ia akan berubah ataukah ia akan terus bergurai untuk berubah. Entahlah.
(Jari Meruak 12 April 1320 KIY)

No comments:

Post a Comment

Hi! Join us for my account twitter @kameliaonta. Have fun! ;)